Kritik Gender: Cermin dari Krisis Maskulinitas dalam Mengemban Nilai-Nilai Ilahi
Selasa, 27 Mei 2025 09:39 WIB
Iklan
Jika dibaca melalui lensa gender, Cerpen ini menyimpan lapisan makna yang tak kalah penting: bahwa seluruh tokohnya adalah laki-laki.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis memang banyak dibahas dalam konteks kritik sosial dan religius. Namun, jika dibaca melalui lensa gender, cerpen ini menyimpan lapisan makna yang tak kalah penting: bahwa seluruh tokohnya adalah laki-laki. Dari tokoh "aku" sebagai narator, pria asing yang bercerita, hingga Haji Saleh dan para jemaah surau, semuanya laki-laki. Perempuan bahkan tidak muncul sama sekali, baik sebagai tokoh maupun sebagai latar.
Ketidakhadiran perempuan ini bukan semata-mata karena tidak penting, melainkan karena mereka dipinggirkan dari ruang wacana dan spiritual yang dibangun di dalam cerita. Surau, dalam konteks tradisional Minangkabau, memang identik dengan laki-laki sebagai tempat belajar agama, bermusyawarah, dan menyiapkan diri untuk peran sosial. Namun, ketika surau itu digambarkan roboh, kehancurannya juga bisa dimaknai sebagai simbol kegagalan peran maskulinitas dalam mengelola kehidupan spiritual dan sosial.
Dalam cerpen ini, para tokoh laki-laki digambarkan begitu tekun beribadah, tetapi tidak menunjukkan kepedulian terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Mereka rajin sujud, tapi lalai membangun masyarakat. Mereka berdzikir, tapi tidak berkontribusi pada perubahan. Mereka sibuk memikirkan surga, tapi lupa menegakkan keadilan di dunia. Di sinilah muncul paradoks, yakni peran keagamaan yang begitu dominan justru tidak menghasilkan kehidupan sosial yang adil dan bermartabat. Yang tampak justru kegagalan kolektif.
Jika kita memakai perspektif gender, maka kita bisa membaca ini sebagai kritik terhadap bentuk religiusitas yang maskulin dan terpusat. Sebuah struktur sosial di mana laki-laki memonopoli tafsir agama, tapi gagal menerapkannya secara transformatif. Ketika laki-laki hanya sibuk pada ritual dan membiarkan masyarakat terpuruk, maka robohnya surau bukan hanya fisik, tapi juga simbolis teruntuhan atas tanggung jawab yang seharusnya mereka emban.
Kritik ini semakin tajam karena perempuan tidak diberi ruang suara sama sekali. Padahal dalam kehidupan nyata, perempuan seringkali menjadi penjaga nilai-nilai kehidupan sehari-hari: mendidik anak, menjaga harmoni keluarga, dan menghidupi empati. Ketika suara perempuan diabaikan dalam narasi sosial dan spiritual, maka yang lahir adalah bentuk religiusitas yang kering (tanpa kasih, tanpa kepekaan, tanpa kepedulian sosial).
Mungkin saja A.A. Navis tidak secara eksplisit menyampaikan kritik gender ini, tetapi pembacaan ini memberi kita ruang refleksi baru: bahwa dominasi satu gender dalam ruang keagamaan tanpa keseimbangan peran hanya akan menghasilkan kekosongan spiritual. Surau yang roboh bisa jadi adalah simbol dari dunia yang kehilangan keadilan dan kasih karena dijalankan secara sepihak.
Dengan demikian, cerpen ini bisa dibaca bukan hanya sebagai kritik atas religiusitas kosong, tetapi juga sebagai cermin dari krisis maskulinitas dalam mengemban nilai-nilai ilahi. Sebuah ajakan tersirat untuk membuka ruang keterlibatan semua pihak, termasuk perempuan, dalam membangun kehidupan spiritual yang lebih utuh, adil, dan manusiawi.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kritik Gender: Cermin dari Krisis Maskulinitas dalam Mengemban Nilai-Nilai Ilahi
Selasa, 27 Mei 2025 09:39 WIB
Musik Keroncong dan Midah, Si Manis Bergigi Emas!
Selasa, 27 Mei 2025 09:38 WIBArtikel Terpopuler